HUBUNGI AKU DI 0818253301 atau 08567893775 Sang Guru Erotis
BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 13 Februari 2010

INDONESIA SARANG KORUPTOR

Fakta-fakta baru terungkap. Satu persatu borok di tubuh burung Garuda mengelopak dan terbuka sangat lebar. Mau apa lagi sekarang? KPK harus diberangus atau dibubarkan saja? Atau Indonesia dibubarkan saja!

Presiden Republik Indonesia layak dan pantas gerah, sebab satu persatu borok di burung garuda mulai menyebarkan baru sangat tidak sedap. Belum lagi kasus bank Century selesai diungkap oleh Pansus, Gurita Cikeas yang kian tak jelas, oknum jaksa agung yang dipenjarakan, bekas mentri yang dikirim hotel prodeo, kini muncul isu tak sedap dari Kementrian luar negeri. Di tampilan pertama saat 'loading' YM, "netter" diberi suguhan yang sangat tidak menarik dan menyakiti nasionalisme anak-anak bangsa. Tampilan yang tidak saja membuat emosional-sentimental, juga perasaan malu karena jenis berita seperti ini biasanya di-blow up oleh negara lain.

Bangsa Indonesia, tidak terkecuali presiden dan Partai Demokrat, mestinya segera malu dan segera pula melakukan pembenahan menyeluruh; semua harus dicuci, termasuk otak para oknum pejabat yang suka makan uang dan menghisap darah rakyat lewat beban pajak yang semakin hari semakin memberat. Jangan hanya bisa mengeluh dan merasa mendapat ancaman. Ini sudah merupakan masalah serius. Masalah yang tidak sekadar seperti nyeret-nyeret kerbau di acara seremonial 'demonstrasi'.

MUI dan Kementrian Agama ternyata hanya menjadi semacam lembaga stempel bahwa Indonesia itu penduduknya mengenal agama dan Tuhan. Tetapi Tuhan yang mana dan bagaimana? Tuhan yang dipercayai memiliki kekuatan yang mahadahsyat dan menghancurleburkan? Atau tuhan yang 'cengangas-cengenges' membiarkan manusia melakukan berbagai kejahatan karena memang tidak memiliki kemampuan apa pun untuk menghentikan kejahatan yang dilakukan manusia.

Sekali lagi, bangsa Indonesia dan nasionalismenya tercabik-cabik oleh kelakuan oknum bandit berdasi yang pura-pura alim dan sok beriman. Sekali lagi hati nurani bangsa terluka. Oleh karena itu, jangan disalahkan jika rakyat berandai-andai menjadi presiden dan presiden harus melakukan apa.

Jika dan seandainya rakyat menjadi presiden, maka tindakan apa yang harus dilakukan?

1. Hukum pancung bagi koruptor?

2. Rajam sampai mati.

3. Kerja paksa selama 20 tahun.

4. Kerja sosial di panti jompo selama-lamanya.

5. Membersihkan wc umum di seluruh indonesia.

6. .........................................................

7. Membebaskan Antasari Azhar untuk memenjarakan para koruptor yang gagah-gagah ini.

8. Membebaskan Antasari Azhar agar KPK punya taring lagi sehingga menjadi lembaga yang mampu mengobati luka anak bangsa.

9. .....


Kamis, 07 Januari 2010

Amin Rais Cuci Darah

Kematian Gus Dur diharapkan membawa berkah bagi Amin Rais, inilah anggapan yang muncul beriring dengan isu 'pengajuan gelar pahlawan' bagi Gus Dur. Seperti seorang striker kesebelasan Amin Rais pun tampil di mulut gawang yang akan melesakkan bola: PAHLAWAN.

Sampai saat ini publik Indonesia tahu persis bahwa yang menjungkalkan Soeharto adalah karya brilian Amin Rais. Demikian pula naik dan turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan. Oleh karena itu, masyarakat nahdliyin pun tahu persis bahwa Amin Rais adalah scriptman yang harus bertanggung jawab terhadap pelecehan politik ini. 

Masyarakat juga tahu bahwa di kalangan nahdliyin Amin Rais adalah satu-satunya manusia yang darahnya halal ditumpahkan, bahkan seorang kiai mereka akan menyantet Amin Rais. Akan tetapi bukannya Amin Rais tewas atau tersantet, malah yang akan menyantet mati duluan. Inilah hebatnya!

Sebagai sesama 'setengah dewa' berlaku kata 'tidak boleh saling menyakiti'. Oleh karena itu, untuk menghapus dosa 'setengah dewa' Amin Rais pun memanfaatkan benar momentum kematian Gus Dur untuk menebus dosa masa lalunya dengan mengusulkan kata 'segera' memberikan gelar pahlawan kepada Gus Dur.

Inilah suara rakyat jika ada yang salah mohon dimaafkan. ya kan!

Rabu, 06 Januari 2010

SISI LAINNYA

Category: Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author: Prof. Dr. Tjipta Lesmana, MA

Saya dapat resensi buku ini dari milis FTUI. Entah siapa pembuatnya.
Tapi membaca resensinya, sangat menarik dan semoga bermanfaat untuk kita menimbang-nimbang calon presiden RI dalam pilpres 2009 kelak

"Behind the Scene" (1):
Tingkah Laku Para Presiden Indonesia
Rabu, 17 Desember 2008 | 11:52 WIB

Suatu ketika, pada era pemerintahan Gus Dur, Laksamana Sukardi (Menteri Negara Badan Urusan Negara) ikut serta dalam kunjungan kenegaraan ke Eropa dan Asia. Jadwal Presiden sangat ketat sehingga membuatnya teler. Para anggota rombongan pun kelelahan luar biasa.

Di Seoul, Gus Dur menerima kunjungan kehormatan Perdana Menteri Korea. Kedua pemimpin negara duduk berdampingan. Perdana Menteri Korea berbicara kalimat demi kalimat yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah. Rupanya, karena sangat lelah dan tidak menarik mendengarkan terjemahan, Gus Dur tertidur.

Pada salah satu bagian, PM Korea berujar, ”Mr President, we have an excelent nuclear technology for power plant. If you are interested, we would be happy to have it for you. (Tuan Presiden, kami memiliki teknologi nuklir yang canggih untuk pembangkit tenaga. Kalau Anda berminat, kami bisa mengusahakannya untuk Anda),” Pemerintah Korea menawarkan bantuan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik Indonesia.

Saat itu, Gus Dur tidur pulas sekali. Selesai pernyataan itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris, PM Korea menoleh ke arah Gus Dur menunggu jawaban. Namun, tidak ada jawaban. Laksamana cepat-cepat membangunkan Gus Dur. “Gus... Gus... bangun! Gus... dia tanya apakah kita interested dengan power plant technology yang dia punya.”

Gus Dur karena baru terbangun dari tidurnya dan belum berkonsentrasi langsung nyeplos, “My Minister ask about your nuclear technology…! (Menteri saya bertanya tentang teknologi nuklir yang Anda miliki),”

Laksamana geli bercampur malu. Anggota rombongan pun tersipu-sipu, tidak berani melihat wajah PM Korea. “Kita semua malu. Merah muka kita di hadapan Perdana Menteri Korea,” tutur Laksamana.

Demikian salah satu cerita yang terungkap dalam buku Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa karya Prof Dr Tjipta Lesmana, MA.

Buku yang baru diluncurkan Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada pertengahan bulan November menguak pola komunikasi politik enam presiden yang pernah memimpin Indonesia, dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Tjipta melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Ia melakukan wawancara secara mendalam dengan 25 orang yang dekat dengan ke enam presiden itu.

Sebagian besar informan adalah mantan menteri sehingga mereka sering berkomunikasi dengan Presiden. Dari pengalaman berinteraksi itulah mereka bercerita dan memaparkan apa saja yang diketahuinya tentang komunikasi politik sang presiden dan kesan mereka terhadap kepemimpinan presiden tersebut.

Buku setebal 396 halaman itu mengungkap gaya komunikasi para presiden Indonesia dalam beragam kondisi. Soekarno digambarkan sebagai sosok yang banyak bicara dengan bahasa lugas, tanpa tedeng aling-aling. Sementara itu, gaya Soeharto berada di ekstrem yang lain, hight context, para pembantunya harus pintar memahami yang tersirat di balik yang tersurat, plus memahami senyumnya yang multitafsir.

Habibie digambarkan sebagai pribadi yang terbuka, tetapi terkesan mau menang sendiri dalam berwacana dan alergi terhadap kritik. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga memiliki gaya yang sangat terbuka, demokratis, tapi cenderung diktator. Gus Dur sangat impulsif. Ia bisa tertawa terbahak, tetapi bisa juga menggebrak meja sekerasnya di depan komunikannya.

Megawati lain lagi. Meski dipandang cukup demokratis, pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya. Dan, tanpa diragukan lagi, tulis Tjipta, Megawati adalah seorang pendendam.

Selanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono digambarkan sebagai sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya, sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.

Yang menarik dari buku ini adalah semua analisis ditarik berdasarkan kisah–kisah kecil interaksi sehari-hari antara presiden dan para menterinya. Sebagian kisah itu tak pernah muncul ke publik sebelumnya.

***
"Behind the Scene" (2):
Megawati Lebih Antusias Bicara Soal "Shopping"

Megawati Soekarnoputri adalah Presiden Indonesia kelima. Bisa disebut ia adalah Presiden Indonesia paling pendiam. Putri Bung Karno ini sepertinya seorang pengikut fanatik pepatah kuno “Silence is Gold”. Tapi, diamnya Megawati seringkali kelewatan. Ia tetap tak bersuara bahkan ketika negeri ini membutuhkan kejelasan sikapnya. Sampai-sampai (Alm) Roeslam Abdulgani, tokoh pejuang 45, berseru, “Megawati bicaralah sebagai Presiden!”

Kenapa Megawati lebih banyak diam?
Tjipta Lesmana dalam bukunya “Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa” mengisahkan, pada suatu hari, saat masih menjabat sebagai Presiden, Megawati Soekarnoputri tampak tengah berbincang lama sekali dengan seorang menterinya di kediaman resminya, di Jl Teuku Umar, Jakarta. Sementara perbincangan berlangsung, seorang pembantu dekatnya yang lain menunggu dengan gelisah. Pasalnya, ia sudah menunggu lama lewat dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu.

Usai pembicaraan Megawati dengan menterinya, pembantu ini bertanya kepada si Menteri. “Lama amat sih kamu ngobrolnya. Apa saja sih yang dibahas?”
”Enggak ada, Mas. Kita ngobrol hal-hal lain yang enggak ada kaitannya dengan negara!” jawab Sang Menteri sambil tertawa lebar (hal. 272).

Itulah Megawati. Berdasarkan penuturan Laksamana Sukardi, mantan menteri negara Badan Usaha Milik Negara, jika berdiskusi dengan pembantunya, lebih sering soal-soal ringan seperti masakan, tanaman, dan shopping. Pembicaraan dengan topik itu bisa membuat diskusi dengan Megawati berlangsung lama. Tapi, jika sudah menyentuh soal pekerjaan atau negara, daya fokusnya sangat terbatas. Konsentrasinya kurang cukup untuk terus menerus fokus ke permasalahan. Hal ini menimbulkan kesan Megawati orang yang tidak mau repot dalam mengurus negara.

Mantan pentiggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini hengkang dan mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan, Roy BB Janis, menuturkan dalam buku itu, dalam sidang kabinet Megawati biasanya lebih banyak diam. Kalaupun angkat suara fungsinya hanya sebagai pengatur lalu lintas. Kalau ada dua menteri saling berdebat di sidang kabinet, Megawati hanya menonton, jarang memberikan pendapatnya sendiri atau menengahi keduanya, meski perdebatan sudah berada pada tingkat ‘panas’.

Ada cukilan kisah menarik tentang diamnya Megawati. Menjelang tutup tahun 2002 aksi-aksi unjuk rasa anti pemerintah, terutama dilancarkan mahasiswa, menunjukkan eskalasi yang tinggi. Aksi ini menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Di tengah ingar bingar unjuk rasa itu, beredarlah rumor yang menyebutkan ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengompori rangkaian unjuk rasa itu.

Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab atas stabilitas pemerintah, Hendropriyono (Kepala Badan Intelijen Negara), Susilo Bambang Yudhoyono (Menteri Koordinator Politik dan Kemanan), dan Da’i Bachtiar (Kapolri), rupanya terus memeras otak untuk mencari tahu siapa dalang aksi-aksi ini. Lantas, dalam rapat kabinet tanggal 20 Januari 2003, muncul empat nama yang disebut-sebut sebagai pihak yang berada di belakang aksi unjuk rasa. Mereka adalah Jenderal Wiranto, Fuad Bawazier, Adi Sasono, dan Eros Djarot.

Tentang Fuad Bawazier, memang diketahui lama adalah mitra bisnis Rini Suwandi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam kabinet Megawati. Kemitraan mereka terjadi jauh sebelum Rini menjadi menteri.

Suatu hari bertemulah Hendropriyono dan Rini Suwandi di kediaman Megawati di Jl Teuku Umar. Hendro menegur keras Rini soal sepak terjang Fuad. Kata–kata Hendro meluncur tanpa tedeng aling-aling. Teguran itu begitu menyakitkan Rini hingga ia menangis sambil memeluk Megawati. Apa reaksi Presiden? Megawati hanya tersenyum menyaksikan adegan perang mulut antara dua pembantu dekatnya (hal. 276).

Pendendam
Semua orang mafhum, hingga detik ini Megawati emoh bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden berkuasa yang notabene adalah mantan pembantunya di kabinet. Dalam upacara kenegaraan memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-63, 17 Agustus, tahun ini, Megawati tidak hadir. Ketidakhadirannya diyakini karena faktor Yudhoyono sebagai Presiden.

Tjipta menulis, “di mata Megawati, Susilo Bambang Yuhoyono (SBY) tidak lebih seorang pengkhianat, bahkan seorang Brutus yang sadis,” (hal.303). Ini semua karena sikap “diam-diam” SBY yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu 2004. SBY dinilai tidak jantan. Beberapa kali Megawati bertanya kepada SBY apakah akan maju dalam Pemilu 2004. Dengan diplomatis SBY menjawab, “Belum memikirkan soal itu, Bu. Saya masih konsentrasi dengan tugas selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.” (hal. 288).

Namun, Megawati dan kubunya menaruh kecurigaan besar terhadap SBY dan timnya. Perseteruan di balik selimut pun terjadi. Terungkap ke publik bahwa Megawati mengucilkan SBY dari sidang-sidang kabinet. Sikap Megawati ini menguntungkan SBY karena dengan itu SBY tampil di media sebagai korban kezaliman Megawati.

12 Maret 2004 SBY mengirimkan surat pengunduran diri dari kabinet. Dua hari kemudian ia terbang ke Banyuwangi, berkampanye untuk Partai Demokrat. Pada putaran kedua pemilu 2004 SBY menang gemilang dalam pemungutan suara. Megawati sedih dan menangis.

Semua orang tahu, saat pelantikan SBY di Gedung MPR pada 20 Oktober 2004 Megawati tidak hadir, padahal banyak orang dekat membujuknya datang. Semua orang juga tahu, pagi itu Megawati bahkan tidak duduk di depan pesawat televisinya, tapi sibuk berkebun.

Menurut penuturan Roy BB Janis, kegusaran dan kebencian Megawati diartikulasikan dalam rapat DPP PDIP. “Kalau orang lain, Amien Rais Presiden, Wiranto Presiden, siapalah, saya datang. Tapi, kalau ini (SBY) saya enggak bisa, karena dia menikam saya dari belakang,” begitu kata Megawati seperti ditirukan Roy (hal.289).
***

"Behind the Scene" (3):
Gus Dur Menggebrak Meja Hingga Meraung-raung

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah presiden Indonesia ke-4. Masa kepemimpinannya tidak lama, hanya 21 bulan (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001). Ia dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipimpin Amies Rais dan digantikan Megawati Soekarnoputri.

Meski rentang kepemimpinannya paling singkat dalam sejarah Indonesia, namun sepak terjangnya banyak menuai kontroversi. Manuver-manuvernya sulit dipahami. Gayanya yang ceplas-ceplos menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Tjipta menyebut dalam bukunya “Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa”, Gus Dur tidak bisa memisahkan statusnya sebagai kiai dan Presiden Republik Indonesia. Statusnya sebagai kiai bahkan kerap lebih menonjol daripada sebagai Kepala Negara. Akibatnya, komunikasi politik Gus Dur kacau.

Sebagai kiai Gus Dur adalah sosok yang terbuka terhadap siapa saja, termasuk terbuka terhadap segala informasi yang dibisikan kepadanya. Cilakanya, Gus Dur sering percaya begitu saja pada bisik-bisik orang tanpa pernah lagi mengeceknya. Gara-gara bisik-bisik ini pula ada orang kehilangan kesempatan emasnya berkarir di luar negeri.

Laksamana Sukardi, kala itu Menteri Negara Badan Urusan Milik Negara, menuturkan dalam buku tersebut, suatu kali dipanggil Gus Dur ke istana. Gus Dur menyampaikan, ada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan reputasi sangat baik. Ia masih muda dan pintar. Gus Dur ingin Laksamana mencarikan posisi untuk orang itu. “Dia pintar sekali. Lalu dia mau ditarik ke New York. Kan, sayang kalau ada anak muda yang pintar, masak kerja di luar negeri. Tolong, deh,” ucap Gus Dur seperti ditirukan Laksamana.

Tak lama setelah hari itu, Laksamana kembali menghadap Gus Dur. Ada posisi lowong sebagai direksi Indosat. “Gus, ingat enggak ini orang, anak muda yang tempo hari Gus titipkan ke saya? Dia lebih cocok di Indosat, Gus,” kata Laksamana.

Gus Dur rupanya sudah lupa. Setelah berpikir agak lama, tiba-tiba ia menjawab lantang,”Enggak bisa itu orang!”
“Lho, kenapa, Gus?!” Laksamana terperanjat.
”Dia bawa lari isteri orang.”

Laksamana kaget setengah mati. Pasalnya, ia sudah menyuruh orang itu keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, bahkan diminta secepatnya keluar karena ada perintah Presiden. Orang itupun sudah ada di Indonesia. Laksamana kemudian meminta orang itu menghadap ke kantornya.

”Mas, kok Gus Dur bilang kamu bawa lari isteri orang?” tanya Laksamana.
”Demi Allah, Pak! Saya masih dengan isteri saya yang sekarang,” jawab orang itu.

Usut punya usut, ternyata Gus Dur mendapat bisikan dari orang tertentu tentang anak muda ini. Dan, faktanya bisikan itu tidak benar. Anak muda bergelar PhD ini akhirnya bekerja di sebuah bank swasta. Laksamana merasa kasihan. Bagaimana tidak! Karirnya di perusahaan luar negeri itu sudah bagus, tapi garagara seorang pembisik nasibnya jadi kacau balau (hal. 207).

Gus Dur menangis meraung-raung
Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang emosional. Bila marah, ia bisa menggebrak meja dan kata-kata keras meluncur dari mulutnya. Salah seorang mantan menteri yang tidak bersedia disebutkan namanya menuturkan, ia pernah dimarahi habis-habisan. Ceritanya begini:

Ada seorang kerabat Gus Dur duduk dalam pemerintahan. Sebut saja namanya XZ. Gus Dur sebenarnya tidak pernah mengangkat XZ. Namun, seorang pimpinan salah satu instansi pemerintah mengangkat XZ sebagai pejabat eselon 1. Mungkin, orang itu berpikir dengan mengangkat kerabat Gus Dur karirnya akan jadi lebih baik mengingat kedekatan XZ dengan Gus Dur. Namun, sebagai pejabat eselon 1, XZ diketahui kerap “memeras” sejumlah konglomerat keturunan Tionghoa. Para pengusaha ini mendapat semacam “bantuan” tapi dengan imbalan yang sangat besar.

Sang menteri tersebut, sebut saja AB, melaporkan perilaku XZ kepada Gus Dur. Gus Dur marah. AB dicaci maki Gus Dur karena Gus Dur tidak memercayai laporan AB.

Beberapa hari kemudian, AB dipanggil Gus Dur ke istana. Pertemuan empat mata. Begitu masuk ke ruang kerja Gus Dur, AB melihat Gus Dur menangis meraung-raung. Ia tampak dilanda kesedihan luar biasa. Lama Gus Dur tidak bisa bicara, hanya menangis dan menangis.

AB bingung, tidak tahu apa yang sedang dialami Gus Dur. Ia berusaha menenangkan Gus Dur. “Gus, tenang, Gus. Tenang, Gus! Ada masalah apa?” ucapnya sambil mengusapi dan memijat-mijat tangan Gus Dur. Sesaat kemudian, Gus Dur berusaha menguasai dirinya, sebelum akhirnya membuka suara.

Intinya, ia mengakui kebenaran informasi tentang perilaku XZ yang pernah disampaikan AB. “Saya malu! Sangat malu! Ternyata, apa yang kamu laporkan kepada saya memang benar semua! Kurang ajar dia!” ujar Gus Dur (hal. 225). Sejak saat itu, dan selama setahun lebih, Gus Dur tidak pernah menyapa XZ.
***

"Behind the Scene" (4):
Habibie, Presiden Pintar yang Tidak Pernah Mau Kalah

Meski sekian lama menjadi bagian dari masa pemerintahan Soeharto dan menganggap Soeharto adalah guru sekaligus bapaknya, namun gaya kepemimpinan Habibie jauh bertolak belakang dengan orang yang dihormatinya itu. Muladi, mantan Menteri Kehakiman di era Orde Baru menuturkan, sidang kabinet yang dipimpin Soeharto selalu berlangsung dalam suasana mencekam. Para menteri takut angkat tangan mengajukan diri untuk bicara. Sementara di zaman Habibie, para menteri justru berebut mengacungkan jari. Muladi menggambarkan, susana sidang kabinet seperti sebuah seminar: riuh, panas, kadang gebrak-gebrak meja seperti mau kelahi.

Habibie sendiri yang merangsang suasana seperti itu karena dia memang senang berdebat. Semakin didebat ia semakin bersemangat. Karena semua menteri boleh bicara dan perdebatan dibuka seluas-luasnya sebelum diambil keputusan, sidang kabinet bisa berlangsung sampai larut malam.

Habibie, menurut Tjipta dala bukunya “Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa”, adalah seorang extrovert. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya, salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

Semua orang terkejut, terutama Almarhum Ali Alatas yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, ketika Habibie tiba-tiba mengumumkan kepada

Dunia internasional tentang pemberian opsi kepada rakyat Timor Timur: tetap bergabung dengan Indonesia atau melepaskan diri sebagai negara merdeka. Tjipta menganalisa, biang keladi dari keputusan besar ini adalah sepucuk surat Perdana Menteri Astralia kala itu, John Howard, yang ditujukan pada Habibie pada Desember 1998. Menurut penuturan Juwono Soedarsono, Habibie marah membaca isi surat Howard yang meminta Indonesia mempertimbangkan hak politik rakyat Timor Timur untuk menyatakan penentuan nasib sendiri.

Habibie merasa surat itu seperti tantangan sekaligus kritik terhadap pemerintah Indonesia. “Karena Habibie mempunyai tabiat tidak mau kalah dengan siapapun maka tantangan itupun secara spontan dijawab,” tulis Tjipta.

Dalam sidang kabinet 27 Januari 1999 kebijakan pemberian opsi ini dipertanyakan oleh Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi. “Kalau plebisit kalah, bagaimana? Siapa bertanggung jawab? Ini kan nanti akan terjadi eksodus, eksodus dari para transmigran yang sudah 25 tahun di sana. Siapa yang bertanggung jawab?” cecar Hendro seperti ditulis dalam buku itu.

Habibie dengan sigap menjawab,”Saya bertanggung jawab.”
Fahmi Idris, Menteri Tenaga kerja, segera menimpali, ”Tanggung jawab apa, Presiden?”
Wajah Habibie tampak merah. Seorang menteri dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lantas menengahi situasi panas ini. (halaman 154)

Bagaimana dengan SBY?
Selanjutnya, bagaimana dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Tjipta menilai, SBY adalah sosok yang perfeksionis. Ia selalu tampil rapi dengan tutur kata yang tertata. SBY pasti sadar bahwa ia seorang pria yang dikaruniai Tuhan dengan wajah cukup ganteng. Dan, ia betul-betul memanfaatkan ketampanannya setiap kali tampil di depan pers. Seolah kegantengannya dan penampilannya yang dandy merupakan daya tarik tersendiri yang harus selalu ‘dijual’ kepada publik setiap kali ia tampil.

”Pakaian yang dikenakan –apakah berupa setelan jas atau batik- selalu berkualitas No. 1 dengan warna, motif, dan ukuran mantap, mencerminkan seleranya berbusana yang tinggi. Ketika itu ia mungkin lebih pas diberikan predikat sebagai ‘foto model’ atau ‘aktor’ daripada seorang ‘kepala negara’,” tulis Tjipta.

Sebagai seorang perfeksionis, lanjut Tjipta, SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna. Namun, gaya bahasanya seringkali high-context, cenderung berputar-putar, terutama ketika ia belum siap dengan keputusannya.

Sayang, tidak banyak hal tersembunyi yang terungkap dalam analisis terhadap gaya komunikasi politik SBY. Tjipta banyak menggunakan contoh dari pemberitaan di media massa. Mungkin para pembantunya belum ada yang berani bicara terbuka karena Bapak Presiden masih berkuasa.

(Selesai)



Tags: habibie, gus dur, megawati, sby

Prev: Maryamah Karpov


DIKUTIP DARI : http://shaphira.multiply.com/reviews/item/36

SISI LAIN SANG GURU BANGSA


SBY menulis pada 06 April 2009 jam 19:42

Suatu ketika, pada era pemerintahan Gus Dur, Laksamana Sukardi (Menteri Negera Badan Urusan Negara) ikut serta dalam kunjungan kenegaraan ke Eropa dan Asia. Jadwal Presiden sangat ketat sehingga membuatnya teler. Para anggota rombongan pun kelelahan luar biasa.


Di Seoul, Gus Dur menerima kunjungan kehormatan Perdana Menteri Korea. Kedua pemimpin negara duduk berdampingan. Perdana Menteri Korea berbicara kalimat demi kalimat yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah. Rupanya, karena sangat lelah dan tidak menarik mendengarkan terjemahan, Gus Dur tertidur.

Pada salah satu bagian, PM Korea berujar, ”Mr President, we have an excelent nuclear technology for power plant. If you are interested, we would be happy to have it for you. (Tuan Presiden, kami memiliki teknologi nuklir yang canggih untuk pembangkit tenaga. Kalau Anda berminat, kami bisa mengusahakannya untuk Anda),” Pemerintah Korea menawarkan bantuan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik Indonesia.

Saat itu, Gus Dur tidur pulas sekali. Selesai pernyataan itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris, PM Korea menoleh ke arah Gus Dur menunggu jawaban. Namun, tidak ada jawaban. Laksamana cepat-cepat membangunkan Gus Dur. “Gus... Gus... bangun! Gus... dia tanya apakah kita interested dengan power plant technology yang dia punya.”

Gus Dur karena baru terbangun dari tidurnya dan belum berkonsentrasi langsung nyeplos, “My Minister ask about your nuclear technology…! (Menteri saya bertanya tentang teknologi nuklir yang Anda miliki),”

Laksamana geli bercampur malu. Anggota rombongan pun tersipu-sipu, tidak berani melihat wajah PM Korea. “Kita semua malu. Merah muka kita di hadapan Perdana Menteri Korea,” tutur Laksamana.

Demikian salah satu cerita yang terungkap dalam buku Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa karya Prof Dr Tjipta Lesmana, MA. Buku yang baru diluncurkan Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada pertengahan bulan November menguak pola komunikasi politik enam presiden yang pernah memimpin Indonesia, dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Tjipta melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Ia melakukan wawancara secara mendalam dengan 25 orang yang dekat dengan keenam presiden itu.

Sebagian besar informan adalah mantan menteri sehingga mereka sering berkomunikasi dengan Presiden. Dari pengalaman berinteraksi itulah mereka bercerita dan memaparkan apa saja yang diketahuinya tentang komunikasi politik sang presiden dan kesan mereka terhadap kepemimpinan presiden tersebut.

Buku setebal 396 halaman itu mengungkap gaya komunikasi para presiden Indonesia dalam beragam kondisi. Soekarno digambarkan sebagai sosok yang banyak bicara dengan bahasa lugas, tanpa tedeng aling-aling. Sementara itu, gaya Soeharto berada di ekstrem yang lain, hight context, para pembantunya harus pintar memahami yang tersirat di balik yang tersurat, plus memahami senyumnya yang multitafsir.

Habibie digambarkan sebagai pribadi yang terbuka, tetapi terkesan mau menang sendiri dalam berwacana dan alergi terhadap kritik. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga memiliki gaya yang sangat terbuka, demokratis, tapi cenderung diktator. Gus Dur sangat impulsif. Ia bisa tertawa terbahak, tetapi bisa juga menggebrak meja sekerasnya di depan komunikannya.

Megawati lain lagi. Meski dipandang cukup demokratis, pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya. Dan, tanpa diragukan lagi, tulis Tjipta, Megawati adalah seorang pendendam.

Selanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono digambarkan sebagai sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya, sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.

Yang menarik dari buku ini adalah semua analisis ditarik berdasarkan kisah-kisah kecil interaksi sehari-hari antara presiden dan para menterinya. Sebagian kisah itu tak pernah muncul ke publik sebelumnya.


sumber:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/11520747/behind.the.scene.tingkah.laku.para.presiden.indonesia..1

ATAU

http://www.facebook.com/topic.php?uid=70423177398&topic=7578 



Senin, 04 Januari 2010

AKHIRNYA BUKAN SANG PEMIMPI

Akhirnya, dana tunjangan profesi hasil sertifikasi yang ditunggu sejak tahun 2007 mencair sudah. Karena guru yang berstatus swasta dan bekerja di pendidikan swasta, tunjangan profesi dipukul rata Rp1.500.000 (satu juta lima ratus rupiah) per bulan. Alhamdulillah, nikmat yang harus dan patut disyukuri. Bagaimana tidak?

1. Perjalanan dari rumah ke sekolah menjadi pendek dengan adanya sepeda motor (meski kredit),

2. Rasa kangen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi semakin termotivasi,

3. Atap rumah yang mulai reyot bisa diperbaiki, dan yang penting

4. Dana kematian tersedia.


Terima kasih kepada semua pihak, Prof. Dr. Furqon Hidayatullah, Kandepag c.q. Mapendais, teman sejawat, istri dan anak-anak tersayang.  


SELAMAT PAGI FAKULTAS PENCETAK GURU

FKIP dan IKIP mulai unjuk gigi dengan membuat program spesialis, yakni profesi guru. Dengan melihat gelagat ini, ternyata selama ini Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan/ atau Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan tidak memroduksi guru, tetapi menghasilkan ke-GURU-an dan Ilmu Pendidikan. 

Ke-GURU-an dengan guru memang berbeda. Makna harafiahnya adalah yang pertama menghasilkan 'seperti guru' sedangkan yang kedua hanya menghasilkan ilmu pendidikan, bukan praktiknya. Padahal, di lapangan ilmu pendidikan sama sekali tidak ada manfaatnya selain mengajari teori-teori bahwa mendidik itu begini ... begini .... begitu .... begitu keluar ya jadi pengangguran, bukan menjadi guru.

Kita semua harus menyadari benar bahwa program sertifikasi guru yang dilakukan oleh pemerintah melalui keputusan Mendiknas merupakan ironi atau sindiran bahwa yang selama ini dianggap guru, bekerja sebagai guru, atau menjabat sebagai guru hanyalah buruh di sektor pendidikan. Oleh karena itu, guru berada di  persimpangan: ? 

Pak Profesor di FKIP-UNS pun pernah menyampaikan hipotesis bahwa guru itu meliputi: 

(1) Guru karena keturunan, turun-temurun semuanya guru, jadi tidak boleh nyempal pakem;

(2) Guru karena satu-satunya pekerjaan yang dianggap ringan, sebab bisa disambi mengerjakan sawah, makelaran, berjualan, dan yang sejenisnya;

(3) Guru karena tidak ada pekerjaan lain;

(4) Guru tersesat, atau tersesat jadi guru; dan 

(5) Guru sejati dan sejatinya guru.


bersambung

Minggu, 01 November 2009

GURU INSTAN

Zaman sudah sedemikian maju sehingga semuanya serbainstan. Setelah fast-food, akhir-akhir ini dunia pendidikan dihebohkan dengan gagalnya para guru mengikuti sertifikasi guru profesional. oleh karena itu, mereka diwajibkan mengikuti PLPG yang diselenggarakan di universitas yang dianggap"dipercaya" oleh pemerintah. Tak kurang tukang-tukang guru "dosen" memamerkan segala kepiawaian mengajar dengan kemasan diklat atau "work-shop". 

Dosen, yang tadinya biasa-biasa saja pun memamerkan segala metodologi untuk mencetak guru profesional secara instan. Dosen yang tadinya mengamalkan metode CBSA (Catat Bahan Sampai Abis) pun bertingkah seperti aktor penerima piala oscar. Sang murid yang 'guru' juga mencermati cara mengajar yang benar-benar mengajar. Atau dosen yang kesehariannya mengamalkan metode ceramah atau diskusi sebagai andalannya, hari itu memamerkan segala teori dan metodologi sambil berharap peserta didik (yang guru) memberi applaus. Sungguh, sebuah ironi.

Di kelas, peserta sertifikasi pun ikut unjuk gigi. Ada yang membawa laptop (skrg sudah biasa), ada yang membawa roti untuk peragaan, dan masih banyak ide yang dikembangkan di ruang yang akan dihuni selama satu minggu. Semua berorientasi pada satu hal: LULUS! Yang hal ini akan diikuti dengan naiknya tunjangan profesi, yang berarti tunjangan hidup, hidup menjadi lebih sejahtera, hidup menjadi lebih berharga, bisa pamer ke tetangga: mobil baru, sepeda motor gedhe baru, bahkan naik haji supaya pamor mencorong! 

Seminggu berlalu setelah pendidikan berlangsung. Guru kembali ke sekolah masing-masing. Petentang-petenteng seperti supermen yang baru kembali dari rumah kriptonik, dan tentu sambil ngrokok pamer kepada teman-temannya bahwa dia sudah layak menjadi guru profesional.

Kembali ke kelas, kembali pula semua karakter bawaan lahir. Mereka memiliki motto "Toh begini pun aku sudah dibayar". jadi, mereka kembali seperti semula 'guru' dengan metode CBSA. Bekerja atau tidak bekerja, toh mereka sudah dibayar. Yang penting siswa bisa memahami bahwa gaji guru memang tidak mencukupi kebutuhan hidup secara wajar. 

Salah satu orang yang berKarakter guru adalah Ki Hajar Dewantoro yang meletakkan tiga fondasi pendidikan yang adiluhur, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.  Namun demikian, ada banyak contoh yang lebih dari sekadar Ki Hajar, yakni para guru di pedalaman Kalimantan dan Irian Jaya. Namun demikian, Ki Hajar tidk atau belum pernah ke Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan tempat-tempat 'wingit' tak tersentuh pendidikan dan peradaban.


bersambung ....